Judul : Sunset Bersama Rosie
Pengarang : Tere Liye
Tahun Terbit : Cetakan II, Desember 2011
Penerbit : Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit)
Jumlah Halaman : 426 hal
Kategori : Romance, Fiction
ISBN : 978-602-98883-6-2
Harga : Rp. 60.000,-
Demi
mengikuti prosesi indahnya perayaaan ulang tahun pernikahan kedua
sahabatku—Rosie dan Nathan—yang ke-13. Kami bertujuh aku, Rosie, Nathan
dan ke-4 kuntum bunga mereka—Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili
menikmati indahnya sunset di pantai Jimbaran, Bali walau aku
terpisah jauh di Jakarta dengan kemajuan teknologi aku tidak ketinggalan
setitik pun momen terindah ini.
Hanya
saja kami semua tidak pernah mengetahui bahwa takdir berkata lain.
Kesakralan acara kami direngut sekejap dengan sebuah bom yang tanpa
diduga meledakkan restoran dimana keluarga Rosie berada. Aku yang panik
berusaha menghubungi Rosie—yang sayangnya tidak ada jawaban karena
memang HP Rosie sengaja dinonaktifkan. Aku tanpa memikir ulang langsung
menuju Bali tanpa menghiraukan atau lebih tepatnya melupakan janji masa
depanku yang besok akan ku ukir bersama Sekar.
Bom
yang meledakkan Bali, meninggalkan sisa-sisa kesedihan pada setiap
korban—termasuk Rosie. Nathan telah pergi, meninggalkan Rosie dan
keempat kuntum bunga mereka. Ya Tuhan, aku hanya bisa berharap kesedihan
ini berkurang—walau sedikit. Tapi kesedihan ini tidak berkurang
sejengkal pun. Rosie yang mengalami intensitas kebahagiaan selama 13
tahun tidak sanggup menghadapi kesedihan dihatinya. Rosie depresi, dia
berusaha untuk bunuh diri dan tidak bisa membedakan mana yang nyata dan
tidak nyata. Dan dia harus menjalani terapi. Entah akan sembuh besok,
lusa, bulan depan, tahun depan, bahkan bertahun-tahun.
Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan ke-4 kuntum bunga ini
yang telah ditinggal pergi ayahnya, kemudian disusul ibunya? Demi
keluarga ini aku meninggalkan segalanya. Meninggalkan semua hal yang
kubangun di Jakarta sana selama 6 tahun terakhir dan meninggalkan Sekar.
Dan janji-janji kehidupan dengannya.
Terlalu menyakitkan..........
Setelah
belum lama ini aku membaca karya Tere Liye yang walau ada beberapa hal
yang bikin sedih tetapi kebanyakan bikin tertawa Aku, Kau dan Sepucuk
Angpao Merah. Sekarang lagi-lagi disuguhkan kisah yang begitu
menyedihkan dan menyakitkan bagi tokoh maupun yang membacanya. Awalnya
aku yang sedikit tahu bagaimana jalan cerita tentang novel ini—tentang
insiden Bom Bali—yang pastinya banyak kesedihan-kesedihan mencoba untuk
tidak mentitikkan air mata. Walau akhirnya sampai buku ini selesai
dibaca hanya mataku yang berkaca-kaca—pada akhirnya. Aku jujur paling
sebal dengan cerita dengan tema seperti ini. Dua orang bersahabat sejak
kecil, tiba-tiba tumbuh rasa tetapi pada akhirnya tidak bisa bersatu
dikarenakan munculnya seseorang yang lain. Menyedihkan. Hal itu lah yang
dirasakan oleh Tegar—Tegar Karang. Dia bersahabat sejak kecil dengan
Rosie. Selama 20 tahun memendam rasa dikalahkan oleh Nathan yang hanya
mengenal Rosie selama 2 bulan. Tegar yang tidak bisa menerima kenyataan
memutuskan untuk pergi. Dan selama 6 tahun baru bisa berdamai dengan
perasaannya dan selama 6 tahun pula Tegar berusaha menerima. Tetapi
nasib berkata lain insiden Bom Bali mengubah semuanya. Tegar yang begitu
mencintai anak-anak Rosie tanpa ragu meninggalkan semua yang
dimilikinya untuk menjaga dan mencurahkan segala kasih yang dimilikinya.
Selama 2 tahun Tegar menjalankan peran Paman yang hebat, keren dan
super. Selama 2 tahun pula Tegar lagi-lagi terjebak dengan masa
lalunya—begitu yang dibilang Oma.
Sudut
pandang yang diambil adalah sudut pandang orang pertama yaitu Tegar.
Alur yang maju mundur menjadikan kita lebih mengetahui sebesar apa
perasaan Tegar kepada Rosie. Walau penuh hal yang menyedihkan dan
menyakitkan tidak kupungkiri bahwa aku menikmati membaca novel ini.
Bagian tersedih dan menjadi favorit ku adalah ketika Om, Uncle, dan Paman Tegar menjelaskan makna pergi dengan
penggambaran kunang-kunang dan lilin kepada ke-4 kuntum bunga Rosie.
Aku ikut tergugu ketika membaca penggambaran yang indah yang diberikan
oleh Tegar. Dengan pemahaman yang begitu sederhana. Tak elak membuat
mataku berkaca-kaca—bahkan saat mengetik resensi ini. Memang benar apa
yang kebanyakan orang bilang ditinggalkan lebih menyakitkan daripada
meninggalkan—khusus kematian. Orang yang mati telah selesai urusan di
dunia ini dan tidak bisa kembali lagi—tentu saja. Sebaliknya yang
ditinggalkan merasa hidupnya paling hancur dan sengsara sama halnya
seperti yang terjadi pada Rosie. Novel ini mengajarkan kita cara untuk
bisa berdamai—bukan melupakan hal-hal yang menyedihkan. Sebelumnya aku
menyinggung tentang Om, Uncle, dan Paman Tegar. Menarik bukan? Kenapa ada panggilan yang begitu banyak untuk Tegar. Om untuk panggilan Anggrek kepada Tegar, Uncle yang
dipilih oleh Sakura, dan Paman yang lebih indah menurut Jasmine. Nah
apa panggilan Lili untuk Tegar? Harus baca novelnya sampai selesai—tentu
saja :D.
Akhir
dari novel ini hanya mempunyai 2 pilihan. Tegar melanjutkan hidupnya
dengan Rosie atau melanjutkan janji kehidupannya dengan Sekar. Pilihan
sederhana tapi pilihan yang sama-sama menyakitkan banyak pihak. Inilah
lagi-lagi hal yang kubenci, apapun pilihan yang diambil oleh Tegar
berdambak besar bagi semuanya, Rosie dan ke-4 kuntum bunganya dan juga
Sekar yang sudah menjalani semua dengan berpegang janji Tegar kepadanya.
Aku yang sudah membaca pada bab-bab terakhir mulai menebak-nebak akhir
dari cerita Tegar, berkali-kali menebak selalu salah bahkan sampai pada
akhir cerita. Entah tiba-tiba aku malah berpikir cerita tentang Tegar,
Rosie dan Nathan seperti film Bollywood yang terkenal pada zamannya—Kuch Kuch Ho ta Hai. Apalagi ketika ditanya oleh Anggrek, Tegar dan Rosie mendefinisikan bahwa ‘Cinta adalah Persahabatan’. Ya ampun langsung deh aku punya pikiran janga
n-jangan
memang seperti film India yang menjadi favoritku juga—walau memang sama
sekali tidak sama persis. Harus kuakui aku agak kecewa dengan
pemikiranku ini, bukan, bukan karena aku membenci karya ini yang sedikit
sekali mirip. Entahlah, aku hanya menginginkan cerita Tegar ini berbeda.
Tokoh
yang paling kusukai adalah Oma, tidak banyak bicara tetapi mempunyai
peran yang sangat besar dalam novel ini. Jujur harus kuakui, aku sangat
membenci Rosie—dengan semua jalinan perasaan yang terhubung dengan
Tegar. Menyakitkan, sekali lagi aku mengulang. Segalanya terasa
menyakitkan apabila kita memandang dari sudut masing-masing tokoh. Novel
yang kubenci sekaligus yang kusuka. Oia ada hal yang sangat membuatku
penasaran sekali karena sampai menamatkan buku ini aku sama sekali tidak
tahu siapakah gerangan anak muda yang mengajarkan arti kata cukup pada Tegar yang padahal jelas-jelas Tegar pada halaman 403 mengatakan ‘esok lusa aku baru tahu siapa anak muda tersebut’. Sangat menyebalkan memang karena aku tidak mendapatkan penjelasan apapun lagi. So who are you kid?
Untuk Om, Uncle, Paman, dan (sebutan Lili) Tegar aku beri nilai 5 :)
Aku suka sekali sinopsis dibelakang buku ini.
‘Sebenarnya,
apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah,
sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan
berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu
saja, tidak istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang’
Begitulah waktu, waktu yang selalu akan menjawab semuanya. Sepahit dan semanis apapun yang terjadi dalam hidup kita :)