Minggu, 20 Desember 2015

[Review] Critical Eleven



Judul : Critical Eleven
Pengarang : Ika Natassa
Penerbit : GPU
Tebal : 344 Halaman
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Juli 2015
Kategori : Romance, Metropop
Status buku : Pinjem @iJakarta
ISBN : 978-602-03-1892-9
Harga : Rp. 79.000,-
Ratingku : 2/5
Bisa dibeli di bukupediacom

Sejujurnya saya sangat menunggu untuk membaca buku Critical Eleven ini. Semenjak membaca salah satu cerpen Ika Natassa di buku Autumn Once More (Review bisa dibaca di sini) saya langsung benar-benar jatuh cinta dengan tulisan penulis. Seperti ada magnet tersendiri pada cara Ika Natassa bercerita. Tentunya buku ini menjadi wishlist saya dari dulu.
Tanya Laetitia Baskoro bertemu dengan Aldebaran Risjad ketika sedang melakukan perjalanan ke Sydney dengan menggunakan pesawat terbang. Tanya dengan rencananya untuk menonton konser dan Ale dengan perjalanan dinasnya. Lima tahun sudah pertemuan awal mereka dan lima tahun pula kebersamaan mereka berdua. Mereka berdua kini sudah menjadi suami istri. Saling menyayangi dan mengikat janji suci. Namun, enam bulan yang lalu Anya mulai bertanya-tanya dengan perasaannya sendiri. Benarkah bahwa perasaannya tidak salah ketika hanya jatuh cinta setelah 7 hari pertemuan mereka? Apakah Ale benar-benar pria yang akan selalu mencintainya? Semuanya mulai dipertanyakan Anya, akan dibawa kemana hubungan kita, Le?
Sejujurnya lagi saya rada kecewa dengan buku ini. Saya sangat suka ketika membaca cerita Ale dan Anya ketika masih berbentuk cerpen dan selalu bertanya-tanya akan bagaimana cerita mereka berdua ketika bertemu lagi ketika sudah mendarat. Dari cerpen itu saya mulai berandai-andai sepertinya asik juga bisa seperti Ale dan Anya saling bertemu ketika dalam suatu perjalanan dan mulai mengobrol ngalor-ngidul seperti teman akrab. Apa lagi buntutnya jadi pasangan hidup. Cool! Ale dan Anya ini memang bikin saya super iri.
Kenyataan pahit harus saya telan ketika tema novel ini mengambil tema domestic romance. Saya super benci dengan tema ini. Sampai saat ini saya belum bisa berdamai dengan tema romance yang satu ini. Beberapa kali mencoba membaca novel dengan tema ini kebanyakan gagalnya, makanya saya agak malas ketika tahu tentang kenyataan ini. Saya juga aselinya lupa atau nggak tahu sebenarnya mengapa saya bisa membenci tema domestic romance. Makanya walau mulai malas membacanya saya sabar-sabarin karena kali saja saya mendapat kesenangan ketika membaca novel ini.
Sayangnya lagi-lagi saya tidak bisa jatuh cinta. Saya benci dengan cerita Ale dan Anya yang muter-muter dengan satu konflik ‘itu’. Rasanya saya kepengin menggebrak meja karena kesal dengan mereka berdua. Penyelesaian yang dipakai penulis pun formulanya sudah dipakai oleh ribuan-berlebihan deh saya- penulis dan diakhiri dengan formula jutaan umat. Ugh, makin kesallah saya ketika menamatkan buku ini dan cuman mendapatkan akhir yang seperti itu. Rasanya nggak worth it banget ketika Anya sudah melakukan segala penolakan keras pada Ale dan tidak mendapat akhir yang setidaknya membuat saya berkata ‘wow’ atau puas dengan akhir yang dipilih penulis.
Ada bagian yang sangat bias bagi saya dan saya benar-benar kurang sreg. Saya muslim dan saya tahu bahwa novel ini hanya karangan fiksi belaka tapi entahlah. Saya tahu bahwa novel ini bukan novel Islami setidaknya yang saya inginkan adalah novel ini tidak usah menyinggung-nyinggung soal agama. Saya inginnya semua novel itu netral dan lebih memilih untuk tidak dijelaskan secara mendetail tentang agama para tokohnya. Jelas-jelas Ale adalah laki—laki yang menurut Anya bukan Islam KTP dan Anya pribadi pun menyukai Ale karena dia pria baik dan taat pada agamanya. Ketika dihadapkan pada kenyataan Anya suka mabuk-mabukan? No, saya tidak bisa menerima itu. Saya tahu ini hanya fiksi, hanya saja saya sangat kecewa. Walau agama di sini hanya dibuat sebagai tempelan atau apa pun semua orang Islam itu tahu bahwa mabuk-mabukan itu haram. Dan kenyataan Ale mempunyai anjiing di rumahnya makin membuat saya super kecewa. Kenapa pula penulis menuliskan hal seperti itu? Mungkin saya naif, tapi mau bagaimana lagi hal itu sangat mengganggu dan membuat saya kesulitan untuk benar-benar menyukai buku ini. Saya tidak mau menjudge siapa pun, toh mana tahu bagaimana saya menjalani ibadah agama saya. Saya sudah kepalang syok pada kenyataan kehidupan Ale dan Anya.
Terlepas dari semua itu saya memang masih menyukai gaya bercerita Ika Natassa yang lincah dan asyik untuk diikuti. Serius. Buku bagus itu sepele sebenarnya, asalkan saya menikmati cara bercerita penulis isi cerita tentang penulis tidak usah dipedulikan karena memang pasti akan membuat saya segera menamatkan buku tersebut dengan cepat. Dan sebagai bonus di buku ini juga dicertikan tentang Harris dan Keara. Kebetulan Harris adalah adik dari Ale dan suka sekali ketika penulis menyinggung tentang Harris. Saya yang memang sudah membaca buku Antalogi Rasa (di mana Harris dan Keara menjadi tokoh utamanya) merasa terpuaskan dengan rasa penasaran saya ketika mendapati cerita tambahan mengenai Harris dan Keara.
Bagi penggemar Ika Natassa buku ini memang wajib untuk dibaca. Walaupun saya sendiri belum terpuaskan ketika membaca buku ini tetap saja saya tidak akan menolak ketika disuguhkan kembali dengan tulisan-tulisan Ika Natassa selanjutnya.
            Selamat dibuat penasaran dengan apa sih yang menyebabkan pernikahan Ale dan Anya menjadi dingin.

2 komentar:

  1. saya beli dan sudah baca novel ini karena terpengaruh review orang-orang yang bilang bahwa buku ini bagus. tapi menurut saya buku ini overrate ya.Review ini persis pendapat saya tentang novelnya. hahaha...koq bisa?

    BalasHapus

Jangan segan buat ngasih komen ya :)